Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Masih membahas mengenai sejarah dan asal-usul para anggota walisongo yang tersebar di beberapa wilayah di tanah Jawa. Pada kesempatan kali ini kami akan membahas mengenai sejarah sunan Muria. Berikut keterangannya.
Sunan Muria
Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga. Sunan Muria merupakan tokoh Wali Songo yang paling muda usianya. Sebagaimana Sunan Kalijaga, Sunan Muria berdakwah melalui jalur budaya.
Sunan Muria dikenal sangat piawai menciptakan berbagai jenis tembang cilik (sekar alit) jenis sinom dan kinanthi yang berisi nasehat-nasehat dan ajaran Tauhid. Seperti ayahnya, Sunan Muria dikenal pintar mendalang dengan membawakan lakon-lakon carangan karya Sunan Kalijaga.
Asal Usul Dan Nasab Sunan Muria
Nama pribadi Sunan Muria ada yang mengatakan Raden Prawoto, ada pula yang mengatakan Raden Umar Said. Beliau disebut dengan gelar Sunan Muria karena berhubungan dengan nama gunung tempat beliau dimakamkan, yaitu Gunung Muria.
Oleh karena Sunan Muria tergolongan anggota Wali Songo dari generasi yang lebih muda dibanding Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus, kisah hidupnya kurang cukup ditulis lengkap oleh para penulis historiografi Jawa.
Kisah hidup Sunan Muria, termasuk silsilah dan nasab beliau tidak cukup dicatat dalam historiografi kecuali dalam cerita tutur dengan sejumlah perbedaannya, termasuk menyangkut silsilah dari mana sejatinya Sunan Muria berasal.
Asal-Usulnya Tidak Tertulis Secara Jelas
Berbeda dengan para wali penyebar Islam dari generasi yang lebih tua, yang kisah hidupnya cukup banyak ditulis dalam historiografi Jawa Tengah, Jawa Timur, Cirebon, dan Banten, kisah hidup dan asal-usul serta nasab Sunan Muria lebih banyak didasarkan pada cerita-cerita legenda yang berkembang secara lisan di tengah masyarakat sekitar Gunung Muria.
Silsilah Sunan Muria
Sebagaimana silsilah Wali Songo lainnya yang berbeda satu sama lain, silsilah Sunan Muria juga memiliki perbedaan mendasar. Menurut versi pertama, sebagaimana ditulis Solihin Salam dalam Sekitar Wali Sanga (1974) dan A.M. Noertjahjo dalam Cerita Sekitar Wali Sanga (1974).
Sunan Muria disebutkan sebagai putra sulung Sunan Kalijaga dari pernikahannya dengan Dewi Sarah putri Maulana Ishak. Jika versi ini benar, maka Dewi Sarah tentu bukanlah saudara kandung Raden Paku atau Sunan Giri apalagi kakaknya.
Sebab, ada perbedaan usia yang cukup jauh antara Raden Paku dengan Sunan Kalijaga. Mengingat tokoh-tokoh penyebar Islam dewasa itu lazim memiliki istri lebih dari satu, sangat mungkin Dewi Sarah ini putra Maulana Ishak dengan istri lain sewaktu ia tinggal di Malaka kemudian Pasai.
Sunan Kalijaga dikisahkan pernah pergi ke Pasai dan Malaka, dan sempat berguru kepada Syaikh Dara Putih, adik Syaikh Jumadil Kubra.
Sunan Muria Bernama Raden Umar
Menurut versi pertama ini, Sunan Muria lahir dengan nama Raden Umar Said. Ia memiliki dua orang adik perempuan, yaitu Dewi Rukayah dan Dewi Sofi yah. Sewaktu dewasa, Raden Umar Said menikah dengan Dewi Sujinah, adik kandung Jakfar Shadiq atau Sunan Kudus putra Raden Usman Haji atau Sunan Ngudung.
Sementara itu, menurut versi kedua yang berdasar naskah Pustoko Darah Agung yang disusun R. Darmowasito dan diringkas oleh R. Mohammad Yahya Mertowinoto (1969), disebutkan bahwa Sunan Muria adalah putra Sunan Ngudung.
Disebutkan bahwa dalam pernikahan dengan Dewi Sarifah, Sunan Ngudung memiliki empat orang putra: (1) Raden Umar Said, (2) Sunan Giri III, (3) Raden Amir Haji Sunan Kudus, dan (4) Sunan Giri II. Jika versi silsilah ini benar, maka Dewi Sarifah istri Sunan Ngudung adalah adik Sunan Kalijaga.
Keilmuan Sunan Muria
Dibanding Sunan Kudus dalam kisah menuntut dan mengembangkan keilmuan, Raden Umar Said ( Sunan Muria) kisah-kisahnya lebih tidak didukung sumber tertulis. Jejak Raden Umar Said menuntut ilmu pengetahuan, lebih didasarkan kepada cerita-cerita lisan bersifat legendaris.
Namun, dari cerita-cerita legenda itu, terdapat kemiripan antara kisah Sunan Muria dengan kisah Sunan Kalijaga dalam mendalami keilmuan.
Misalnya, kisah Sunan Kalijaga yang dituturkan telah bersemadi di pinggir sungai selama bertahun-tahun sampai tubuhnya ditumbuhi semak-belukar, demikianlah Sunan Muria dikisahkan telah melakukan Tapa Ngeli (bersemadi dengan menghanyutkan diri di sungai).
Kisah Menjalani Tapa Ngeli
Kisah Tapa Ngeli yang dilakukan Sunan Muria mengingatkan pada kisah pewayangan lakon Dewa Ruci yang paling sering dipergelarkan oleh Sunan Kalijaga. Sekalipun kisah asli cerita Dewa Ruci diambil dari naskah kuno Nawa Ruci gubahan Empu Syiwamurti pada masa akhir Majapahit.
Namun masyarakat lebih mengenal Sunan Kalijaga sebagai tokoh yang mempopulerkan cerita tersebut karena ditampilkan dalam bentuk pertunjukan wayang.
Inti kisah Nawa Ruci menuturkan perjalanan ruhani tokoh Bhima (yang kuat), yang juga memiliki nama Wrekodhara (serigala), yang masuk ke Lawana-udadhi (samuderanya samudera) yang luas tanpa batas.
Dan, di kedalaman Lawana-udadhi Bhima bertemu dengan Sang Hyang Murti Nawa Ruci yang memberikan wejangan tentang Kebenaran hakiki.
Kelebihan Sunan Kalijaga dalam mengupas falsafah kisah Nawa Ruci yang menggunakan tema-tema hindustik ke dalam term-term islami seperti Wrekodhara (serigala) yang dimaknai sama dengan nafs haya waniyyah, Lwanaudadhi (samuderanya samudera) dimaknai dengan bahrul wujûd sehingga membuat kisah Nawa atau Dewa Ruci sangat digemari umat Islam.
Belajar Agama Dari Ayahnya
Dalam konteks keilmuan, dapat ditafsirkan bahwa Sunan Muria mempelajari ilmu pengetahuan agama maupun cara-cara dakwah dari ayahandanya sendiri, yaitu Sunan Kalijaga.
[su_note note_color=”#faf7f2″ text_color=”#0c0b0b” radius=”8″]Baca Juga : Biografi Sunan Kudus[/su_note]
Berguru Kepada Sunan Ngerang
Namun, ada juga sumber cerita lisan tentang “Maling Kapa” yang salah satu bagiannya menuturkan bahwa Sunan Muria pernah berguru kepada Sunan Ngerang (Ki Ageng Ngerang) bersama-sama dengan Sunan Kudus dan Adipati Pathak Warak serta dua bersaudara Kapa dan Gentiri.
Selama berguru kepada Sunan Ngerang, dikisahkan bahwa suatu saat Sunan Ngerang mengadakan syukuran untuk putrinya, Dewi Roroyono yang usianya genap dua puluh tahun. Para murid seperti Sunan Muria, Sunan Kudus, Adipati Pathak Warak dari Mandalika Jepara, Kapa dan adiknya, Gentiri, diundang untuk hadir.
Ketika Dewi Roroyono dan adiknya, Roro Pujiwati, keluar menghidangkan makanan dan minuman, hati Adipati Pathak Warak terpesona oleh kecantikan putri gurunya itu. Ia memandang Dewi Roroyono dengan mata tidak berkedip.
Putri Sunan Ngerang itu telah membuat Adipati Pathak Warak tergila-gila dan melakukan tindakan tidak pantas terhadap putri gurunya itu. Bahkan, pada malam hari, Dewi Roroyono dibawa lari ke Mandalika.
Menikah Dengan Putri Gurunya
Sewaktu Sunan Ngerang mengetahui bahwa putrinya diculik oleh Pathak Warak, ia berikrar akan menikahkan putrinya itu dengan siapa saja yang berhasil membawanya kembali.
Setelah melalui berbagai rintangan yang berat termasuk melumpuhkan Adipati Pathak Warak, membinasakan Kapa dan Gentiri yang berkhianat Raden Umar Said berhasil membawa kembali Dewi Roroyono. Lalu Sunan Ngerang menjodohkan putrinya, Dewi Roroyono, dengan Raden Umar Said ( Sunan Muria).
Bertolak dari kisah perkawinan Sunan Muria dengan Dewi Roroyono, putri Sunan Ngerang, diketahui bahwa selain menjadi menantu Sunan Ngudung karena menikah dengan Dewi Sujinah putri Sunan Ngudung, Sunan Muria juga merupakan menantu Sunan Ngerang.
Cara Dakwah Sunan Muria
Dalam melakukan dakwah Islam, Sunan Muria memilih pendekatan sebagaimana dijalankan ayahandanya, Sunan Kalijaga. Tradisi keagamaan lama yang dianut masyarakat tidak dihilangkan, melainkan diberi warna Islam dan dikembangkan menjadi tradisi keagamaan baru yang khas Islam.
[su_note note_color=”#faf7f2″ text_color=”#0c0b0b” radius=”8″]Baca Juga : Biografi Sunan Gresik[/su_note]
Mengadakan Upacara Untuk Doa
Demikianlah tradisi bancakan dengan tumpeng yang biasa dipersembahkan ke tempat-tempat angker di ubah menjadi kenduri, yaitu upacara mengirim doa kepada leluhur dengan menggunakan doa-doa Islam di rumah orang yang menyelenggarakan kenduri.
Menggunakan Media Bahasa Atau Tembang
Dalam usaha menyiarkan ajaran Islam sesuai pemahaman masyarakat, Sunan Muria mengikuti jejak Sunan Kalijaga dan wali-wali yang lain, yaitu melalui bahasa tembang.
Sebagaimana dimaklumi, menjelang masa akhir Majapahit terjadi kemerosotan pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap Bahasa Sansekerta dan Bahasa Jawa Kuno (Bahasa Kawi), yang tercermin pada keterputusan tradisi penulisan kakawin tiruan kawya Sansekerta dan kidung.
Para pujangga di era kerajaan-kerajaan Islam Jawa yang sudah sangat merosot pengetahuannya tentang Bahasa Kawi dan penulisan kakawin banyak menggunakan bentuk macapat dan tembang gede.
Lokasi Makam Sunan Muria
Makam Sunan Muria terletak di salah satu puncak bukit di lereng Gunung Muria, masuk Kecamatan Colo, kira-kira 18 KM di utara Kota Kudus. Seperti makam Wali Songo yang lain, makam Sunan Muria terletak di dalam tungkub yang ditutupi tirai berupa kain tipis warna putih.
Untuk mencapai makam Sunan Muria, dari kaki gunung harus melewati jalan melingkar sejauh tujuh kilometer. Pada bagian akhir perjalanan dari lereng yang terjal menanjak puncak, dibuat undak-undakan sejauh 750 meter.
Sekarang ini, dari kaki gunung di Colo para peziarah dapat menggunakan jasa ojek untuk melewati jalan sempit berliku-liku agar sampai ke lereng akhir menuju undak-undakan yang terjal menanjak ke area makam di puncak gunung.
Meski sudah ada ojek, namun masih banyak peziarah yang sengaja berjalan kaki untuk maksud terciptanya suasana ziarah yang lebih khusyuk.
[su_note note_color=”#faf7f2″ text_color=”#0c0b0b” radius=”8″]Baca Juga : Biografi Sunan Drajat[/su_note]
Makam Prajurit Sunan Muria
Menurut Umar Hasyim dalam Sunan Muria: Antara Fakta dan Legenda (1980), di pelataran makam Sunan Muria terdapat sekitar 17 batu nisan, yaitu makam para prajurit dan punggawa (kemungkinan prajurit dari Demak yang ditugasi mengawal Sunan Muria, selaku tokoh yang dikenal setia kepada Sultan Demak–pen).
Di sebelah timur, di samping tungkub makam Sunan Muria, terletak makam putri Sunan Muria yang bernama Raden Ayu Nasiki. Tepat di sebelah barat dinding belakang Masjid Muria, di sebelah selatan mihrab, terdapat makam Panembahan Pengulu Jogodipo, putra sulung Sunan Muria.
Demikian yang dapat kami sampaikan semoga bermanfaat dan dapat menjadikan sebagai bahan referensi bagi yang membutuhkan. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Referensi: atlas walisanga, Ahmad Sunyoto.