Perkembangan Islam Di Indonesia – Nyamankubro

Perkembangan Islam Di Indonesia

3 min read

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Penyebaran dan perkembangan Islam di Nusantara dapat dianggap sudah terjadi pada tahun-tahun awal abad ke-12 M. Berdasarkan data yang telah diteliti oleh pakar antropologi dan sejarah, dapat diketahui bahwa penyiaran Islam di Nusantara tidak bersamaan waktunya, demikian pula kadar pengaruhnya berbeda-beda di suatu daerah.

Berdasarkan konteks sejarah kebudayaan Islam di Jawa, rentangan waktu abad ke-15 sampai ke-16 ditandai tumbuhnya suatu kebudayaan baru yang menampilkan sintesis antara unsur kebudayaan Hindu-Budha dengan unsur kebudayaan Islam. Kebudayaan baru di dalam kepustakaan antara lain dikenal sebagai kebudayaan masa peralihan.

Berdasarkan temuan bukti-bukti arkeologis Islam di daerah pantai dan pedalaman menunjukan bahwa apa yang digambarkan sebagai kebudayaan tersebut sebagian besar adalah hasil kebudayaan Islam yang tumbuh dan berkembang bersamaan waktunya pada masa kejayaan hingga surutnya kerajaan Majapahit dan tumbuhnya Demak sebagai kesultanan Islam pertama di Jawa.

Masuknya Islam Di Tanah Jawa

Masuknya Islam ke Indonesia dimulai dari daerah pesisir seperti Pasai, Gresik, Goa, talo, Cirebon, Banten dan Demak. Hal ini terjadi karena pelabuhan sebagai pusat perdagangan dan interaksi antar kawasan realitas ini mencerminkan bahwa masyarakat Islam periode awal adalah masyarakat kosmopolit.

Sebagaimana Islam di daerah lain, Islam di Jawa juga berangkat dari daerah pesisir. Proses pergeseran menuju pedalaman, ditengarai oleh Kuntowijoyo sebagai pergeseran Islam kosmopolit menuju Islam agraris dan Islam yang mistik (Kuntowijoyo, 1995: 132).

Menurut Azra (2002), ada empat hal disampaikan histiografi tradisional. Pertama, Islam di Nusantara dibawa langsung dari Tanah Arab. Kedua, Islam diperkenalkan oleh para guru atau juru dakwah profesional. Ketiga, orang-orang yang pertama kali masuk Islam adalah penguasa. Keempat, sebagian besar para juru dakwah profesional datang di Nusantara pada abad ke-12 dan ke-13.

Walisongo pada masa pelembagaan Islam menggunakan beberapa tahapan, yaitu pertama mendirikan masjid. Dalam proses penyebaran Islam masjid tidak hanya berfungsi untuk tempat beribadah tetapi juga tempat pengajian, dan dari masjidlah proses penyebaran Islam dimulai.

Masa-masa awal proses islamisasi, masjid menjadi tempat ritual, masjid juga sebagai pusat tumbuh dan berkembangnya kebudayaan Islam. Di dalam masjid segala aktifitas pengembangan Islam berlangsung. Banyak masjid yang diyakini sebagai peninggalan Wali dan dinamakan Wali yang bersangkutan.

Seperti masjid yang didirikan oleh Raden Rahmat yang diberi nama Laqab sebagaimana tradisi Timur Tengah – Sunan Ampel, sehingga masjidnya dinamakan Masjid Ampel, masjid Giri didirikan oleh Sunan Giri, Masjid Drajat yang didirikan oleh Sunan Drajat dan sebagainya.

Selain masjid dalam pembentukan kelembagaan Islam Walisongo dalam penyebaran Islam juga mendirikan pesantren. Di dalam khazanah penyebaran Islam, setiap Wali memiliki pesantren yang dinisbahkan dengan nama wali tersebut berada. Seperti pesantren Ampel, pesantren Bangkuning, Pesantren Drajat, pesantren Giri dan sebagainya.

Peranan Wali Songo

Terdapat sembilan Wali (Walisongo) dan Wali lokal dalam tradisi masyarakat muslim di Jawa. Mereka kebanyakan berkedudukan di kota-kota pesisir dan sebagian kecil di daerah pedalaman. Wilayah pengaruhnya terbatas dilingkungan kota yang menjadi basisnya, hanya satu-dua diantaranya yang mempunyai pengaruh jauh melampaui batas daerahnya, misalnya Sunan Bonang dan Sunan Giri.

Jawa Timur mendapat perhatian besar dari para Wali. Disini ditempatkan 5 Wali, dengan pembagian teritorial dakwah yang berbeda. Maulana Malik Ibrahim, sebagai wali perintis, mengambil wilayah dakwah Gresik. Setelah Maulana Malik Ibrahim wafat wilayah ini dikuasai oleh Sunan Giri. Sunan Ampel mengambil posisi dakwahnya di Surabaya. Sunan Bonang sedikit ke Utara di Tuban. Sedangkan Sunan Drajat di Sedayu.

Dakwah Melalui Jalur Perdagangan

Penyebaran Islam di Indonesia tidak mengenal agresi militer dan agama. Penyebaran lebih banyak dijalankan melalui perdagangan. Dari keterangan ini dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pemilihan tempat Wali dalam dakwahnya lebih banyak posisi Bandar perdagangan daripada kota pedalaman.

Seperti di Jawa Timur, para Wali lebih terlihat sebagai penyebar Islam yang berdagang. Artinya tidak seperti digambarkan oleh senetara dongeng yang memberitakan kisah para Wali sebagai tokoh yang menjauhi masyarakat, seperti berlaku sebagai Bhiksu, atau lebih banyak beribadah semacam bertapa di gunung daripada aktif dibidang perekonomian

Dakwah Dengan Budaya

Ternyata dinamika kehidupannya lebih rasional seperti halnya yang dicontohkan Rosulullah yang juga pernah berdagang. Sedangkan di Jawa Tengah para Wali mengambil posisi di Demak, Kudus dan Muria.

Sasaran dakwah para Wali yang di Jawa Tengah tentu berbeda yang berada di Jawa Timur. Di Jawa Tengah dapat dikatakan bahwa pusat kekuasaan politik Hindhu dan Budha sudah tidak berperan lagi.

Hanya para Wali melihat realitas masyarakat yang masih dipengaruhi oleh budaya yang bersumber dari ajaran Hindhu dan Budha. Saat itu para Wali mengakui wayang sebagai media komunikasi yang mempunyai pengaruh besar terhadap pola piker masyarakat.

Oleh karena itu, wayang perlu dimodifikasi, baik bentuk maupun isi kisahnya perlu diislamkan. Instrumen gong juga perlu diubah, yaitu secara lahiriah tetap seperti biasanya, tetapi makna diislamkan.

Proses Islamisasi Di Jawa Barat

Proses islamisasinya di daerah Jawa Barat hanya ditangani seorang Wali, Syarif Hidayatullah, yang setelah wafat dikenal dengan Sunan Gunung jati. Adapun pemilihan kota sebagai pusat aktivitas dakwah Sunan Gunung Jati, tidak dapat dilepaskan hubungan dengan jalan perdagangan rempah-rempah sebagai komoditi yang berasal dari Indonesia Timur.

Cirebon merupakan pintu perdagangan yang mengarah ke Jawa tengah dan Indonesia Timur, atau pun ke Indonesia Barat. Oleh karena itu pemilihan Cirebon dengan pertimbangan sosial politik dan ekonomi saat itu, memiliki nilai geostrategis, geopolitik, dan geoekonomi yang menentukan keberhasilan penyebaran Islam selanjutnya.

Proses islamisasi di Jawa, Jawa Timur menempati posisi penting dilihat dari banyaknya Wali Allah sebagai penyebar Islam. Seperti Maulana Malik Ibrahim yang mengambil wilayah dakwahnya di Gresik kemudian digantikan oleh Sunan Giri.

Sunan Ampel menyebarkan Islam yang berpusat di Surabaya, Sunan Bonang menyebarkan Islam di wilayah Tuban dan Sunan Drajat di wilayah Sedayu.

Islam Di Indonesia Semakin Berkembang

Bangsa Indonesia saat ini populasinya sekitar 90% memeluk agama Islam dan sebagian besar berdomisili di pulau Jawa. Semua itu jika kita kaji adalah merupakan hasil kerja dakwah Walisongo pada zamannya.

Bentuk metode dakwah Walisongo yang secara inspiratif adalah mencontoh gerakan dakwah Nabi Muhammad SAW, seperti berdakwah melalui jalur keluarga/perkawinan. Jika dilihatnya dari geneologi kewalian, para wali di Jawa Timur ini dan Jawa pada umumnya memiliki kekerabatan.

Proses Islamisasi yang berlangsung di Nusantara pada dasarnya berada dalam kerangka proses akulturasi. Seperti Islam disebarkan di Nusantara termasuk Semenanjung dan Brunei sebagai kaidah-kaidah normatif di samping aspek seni dan budaya. Para wali berusaha mengembangkan kebudayaan Jawa.

Walisanga Sebagai Teladan Islam Di Indonesia

Peradaban Islam yang diturunkan oleh para Wali di Jawa memberikan tuntunan dan panutan yang sangat bernilai dan juga sangat Islami, yaitu adanya ukhuwah serta konsep imamah di kalangan para pemimpin umat.

Di antara Wali muncul hubungan antar personal dan kelompok yang erat, yang ditandai saling menghargai, mufakat, menyesuaikan diri, dan menghormati senioritas. Seperti ketika Sunan Ampel wafat, kepemimpinan beralih ke Sunan Giri dan Sunan Bonang.

Sejarah Islam Di Dunia

Fathur Rozi
6 min read

Asal Usul Agama Islam

Fathur Rozi
4 min read

Sejarah Khalifah Islam

Fathur Rozi
4 min read

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *